Hubungan
Indonesia dengan Benua Afrika Kaya dengan Nuansa Ikatan Emosional Yang Kuat
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
Guru Besar Politik Internasional FISIP HI UPH
Prof. Aleksius Jemadu, Ph.D
Guru Besar Politik Internasional FISIP HI UPH
Hubungan Indonesia dengan benua Afrika penuh dengan nostalgia sejarah yang romantis ketika negara-negara di Asia dan Afrika baru saja membebaskan diri dari penjajahan kolonialisme barat. Kenangan yang paling indah adalah KAA di Bandung pada 24 April 1955 dimana Indonesia memainkan peranan kunci sebagai salah satu penggagas dan sekaligus penyelenggara pertemuan akbar dan bersejarah tersebut.
Lima puluh dua tahun kemudian dunia sudah sangat berubah tetapi nilai-nilai yang mendasari KAA tetap relevan untuk saat ini, karena itu semua negara peserta KAA sepakat untuk tetap menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai landasan untuk membina hubungan yang lebih substantive antara kedua benua demi peningkatan martabat rakyat Asia dan Afrika.
Emansipasi secara politik dan ekonomi bagi mayoritas rakyat di sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika masih merupakan agenda bersama mengingat struktur ekonomi politik global belum berubah secara fundamental dan bahkan mungkin ketimpangan struktural yang ada semakin lebar. Ini berarti bahwa antara Indonesia dan negara-negara Afrika terdapat kesamaan kepentingan, baik dalam bidang ekonomi maupun politik yang bisa dijadikan sebagai sumber motivasi untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama.
Meskipun secara historis hubungan Indonesia dengan benua Afrika kaya dengan nuansa ikatan emosional yang kuat, dalam kenyataannya saat ini hubungan itu agak tergeser oleh prioritas hubungan luar negeri Indonesia dengan kawasan lainnya. Secara ekonomi perhatian utama Indonesia masih ditujukan kepada mitra dagang utamanya yang ada di kawasan Asia Pasifik, karena sebagian besar perdagangan kita dilakukan dengan Jepang, AS, China, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong. Selain itu Indonesia juga memberikan prioritas yang tinggi untuk meningkatkan pangsa pasarnya di Uni Eropa.
Kawasan Asia Tenggara dengan ASEAN yang sudah memasuki usia 40 tahun juga tetap merupakan prioritas utama polugri RI. Hal ini bisa dimengerti karena banyak masalah ekonomi, sosial, politik dan keamanan yang hanya dapat diselesaikan secara komprehensif pada tataran kerjasama regional.
Namun demikian tampak ada kegairahan yang besar dari Pimpinan Kemlu RI untuk mengoptimalkan hubungan dengan benua Afrika melalui berbagai inisiatif, baik pada tataran bilateral maupun multilateral. Sejak perayaan 50 tahun KAA April 2005, Indonesia melakukan berbagai inisiatif yang pada intinya ingin mengoptimalkan manfaat ekonomi maupun politik dari hubungan tersebut. KTT Asia-Afrika di Jakarta April 2005 yang diketuai bersama oleh Indonesia dan Afrika Selatan menghasilkan New Asian-African Strategic Partnership (NASP).
Selain memiliki tingkat pembangunan sosial ekonomi yang kurang lebih sama, hambatan secara ideologis dalam hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika bisa dikatakan tidak ada, sehingga peluang untuk peningkatan hubungan secara lebih produktif terbuka lebar.
Lima puluh tiga negara di benua Afrika merupakan konstituen yang besar di Majelis Umum PBB dan selama ini memberikan dukungan yang positif bagi Indonesia, khususnya ketika Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Mengingat PBB merupakan wadah yang sangat penting untuk menyelesaikan berbagai persoalan internasional pada masa yang akan datang, maka hubungan baik dengan negara-negara di Afrika perlu dibina dan mendapatkan perhatian serius.
Meskipun secara politik dan historis Indonesia memiliki kedekatan dengan Afrika, namun secara ekonomi Indonesia masih ketinggalan dengan negara-negara tetangga seperti China, Malaysia dan Thailand yang secara agresif memanfaatkan peluang yang muncul setelah Afrika bangkit dalam tahun-tahun terakhir ini.
Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini setiap negara berusaha untuk melakukan diversifikasi hubungan ekonomi dan perdagangan, dan Afrika menawarkan berbagai peluang sebagai pemasok sumber daya alam seperti energi minyak dan gas abad 21 serta sebagai pasar yang terus tumbuh daya belinya.
Pandangan yang negatif tentang Afrika sudah saatnya diubah dan digantikan dengan cara pandang yang lebih positif dengan melihat potensi Afrika yang belum banyak digarap. Peningkatan pertumbuhan ekonomi telah terjadi di negara-negara Afrika, berbagai laporan dari lembaga keuangan dan media internasional menunjukkan bahwa prospek ekonomi benua Afrika pada abad 21 ini semakin cerah. Pada tahun 2012 ini pertumbuhan ekonomi Sub-Sahara Afrika diperkirakan mencapai 5,8% meskipun pertumbuhan ekonomi di AS dan Uni Eropa mengalami penurunan.
Pada level individual negara-negara juga ada kemajuan signifikan, terutama di negara-negara penghasil minyak seperti Angola dan Nigeria. Afrika Selatan merupakan ekonomi terbesar dan menjadi wakil benua Afrika di G20. Para pemimpin Afrika juga semakin percaya diri bahwa dengan tingkat pertumbuhan ekonomi regional dan nasional yang tinggi, Afrika dapat mempersempit jurang perbedaan dengan benua-benua lainnya.
Di tengah kehausan dunia akan energi dan bahan mentah untuk kebutuhan industri, Afrika menawarkan diri sebagai pemasok dengan deposit yang cukup untuk mengamankan kebutuhan jangka panjang, sehingga dengan demikian Afrika menjadi arena persaingan baru negara-negara besar yang ingin mengamankan industrinya. Afrika memiliki 8% cadangan minyak dunia, dan dibandingkan dengan kawasan Timur Tengah yang sangat rentan terhadap instabilitas akibat pertikaian Arab-Israel dan nukir Iran saat ini, Afrika relatif lebih aman dan bebas dari goncangan politik yang dapat mengganggu pasokan minyak ke negara-negara industri, karenanya AS mengimpor minyak lebih banyak dari Afrika daripada Teluk Persia.
Selain itu Afrika juga memiliki berbagai kandungan mineral lainnya, misalnya Afrika Selatan yang memiliki 88% cadangan platinum dunia. Tidaklah mengherankan kalau The Economist menjuluki Afrika sebagai benua masa depan. Dengan asumsi bahwa berbagai konflik lokal yang terjadi pada akhirnya dapat diselesaikan secara damai, dan berhasil melakukan reformasi di bidang politik dan ekonomi, maka dalam jangka waktu tidak terlalu lama Afrika bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru dan akan dilirik oleh banyak investor dunia, baik dari negara maju maupun negara berkembang.
Ada empat faktor utama yang menciptakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara Afrika. Pertama, keanggotaan Indonesia di G20 yang dapat mewakili kepentingan negara-negara berkembang di Afrika agar tidak termarginalisasi akibat pertarungan kekuatan-kekuatan besar termasuk China dan India. Indonesia dan Afrika Selatan sebagai satu-satunya wakil dari benua Afrika dapat memperjuangkan kepentingan Afrika.
Kedua, banyak kalangan melihat Indonesia sebagai model keberhasilan konsolidasi demokrasi yang menciptakan stabilitas politik sehingga meraih pengakuan sebagai salah satu emerging economy dengan prospek jangka panjang yang menjanjikan. Negara-negara Afrika yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya tentunya sangat berminat untuk menjalin hubungan perdagangan dengan Indonesia yang memiliki potensi daya beli kelas menengah yang terus bertumbuh.
Ketiga, meskipun masih menghadapi pergolakan separatis di Papua, keberhasilan Indonesia menyelesaikan konflik secara damai di Aceh tanpa disintegrasi bisa menjadi model bagi Afrika yang masih rentan terhadap konflik etnis dan separatis. Kenyataan bahwa penyelesaian konflik secara damai di Aceh merupakan buah dari konsolidasi demokrasi dan best practice yang menarik bagi dunia, khususnya Afrika.
Keempat, dalam mengantisipasi KTT Bumi Rio+20 di Brazil pada Juni 2012 dengan tema green economy dan reformasi kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan (institutional framework for sustainable development) terdapat kesamaan kepentingan antara Indonesia dan kebanyakan negara-negara Afrika mengingat perekonomian kedua pihak yang resource-based.[]
0 comments:
Post a Comment